Betapa teriknya sinar matahari yang bersinar di kota Garut ini. Aku terjebak macet di jalan yang sempit dan padat kendaraan. Dari mobilku kulihat ada seorang nenek tua yang sedang menyusuri jalan di trotoar. Untung saja saat ini aku berada di dalam mobilku yang nyaman dengan fasilitas AC. Ogah deh kalau aku harus jalan kaki di sana, pasti kulitku akan terbakar.
“Lain kali kalau pulang sekolah jangan lewat sini, Pak ! Macet !” protesku kepada Pak Kadir, sopirku yang selalu mengantarku kemanapun aku pergi.
“Baik Non Yuri.” sahut Pak Kadir.
Aku memang selalu ingin semuanya berjalan sempurna sesuai dengan yang aku inginkan. Tak ada orang yang boleh menghalangi keinginanku. Beginilah aku. Yuri Aulia Putri. Kehidupanku sungguh menyenangkan. Keluargaku kaya raya, aku selalu ditemani dengan temanku yang ga’ rese, semua cowok juga selalu ngantri untukku. Tapi aku tak pernah melirik mereka karena tidak ada yang bisa aku percaya. Aku hanya mempercayai teman dekatku.
“Ri ! Gimana ama si Chandra ?” tanya Idot, sahabatku ketika aku baru saja duduk sambil membawa kopi hangat. Malam minggu memang asyik buat nongkrong bareng temen dipinggir jalan.
Aku mendengus, “Beeeeuh, cowok kaya gitu ngapain di kukut ! Dia ga’ mau berubah sesuai ama yang aku inginin. Dia rese, so ngatur, pingin aku ini lah itu lah. Lagian aku emang nggak niat pacaran ama dia.”
“Kenapa kamu nggak coba buat ngertiin dia ?”
“Ngapain juga aku ngertiin dia, orang dia juga nggak ngertiin aku.”
“Loooh.. Aku denger dari mantan-mantannya dia itu cowok yang pengertian, baik, pleus sabar..”
“Pengertian dari hongkong, aku belanja dikit aja dia ngadain ceramah dua jam !”
“Hahaha… Mungkin dia nganut ajaran ‘Hemat pangkal kaya’ kali. Tapi kalo dipikir-pikir emang bener sih,
kamu nggak boleh terlalu boros..”
“Aduuuh Dot, plis deeeh. Kalo jadi orang tuh harus manfaatin yang ada. Lagian masih ada ortu gue yang duitnya numpuk. Lo juga harusnya…,” Aku tertegun, kata-kataku terhenti, “Dot, siapa tuh?”
Seorang cowok baru saja turun dari motornya, Ia memakai kaus putih, jeans belel dan topi. Keren banget. Aku nggak pernah ketemu sama orang kayak gini. Wajahnya bisa mengalihkan duniaku. Hanya dia satu-satunya orang yang bisa bikin aku menjerit-jerit dalam hati.
“Woi…,” Idot mengagetkanku. “Aku tadi bilang ga’ tau… Kamu nggak dengerin aku ya.”
“Gila dot… Tu orang keren banget. Siapa sih ? Siapa siiih??”
“Ga tau. Kamu tanya aja sendiri.”
“Gengsi dooong. Tanyain dong.”
“Dong dong dong. Aku gengsi juga, dongdong !”
Aku cemberut. Tetapi mataku tetap terpaku kepada orang itu. Ia menghampiri sekumpulan orang diseberang sana dan ber-high five ria. Arga ! Itu Arga tetanggaku ada di antara sekumpulan orang itu ! Otomatis Arga juga salah satu temen dia !
Segera setelah pulang dari sana aku mengintrogasi Arga tentang orang itu. Ternyata namanya Rizki. Ia baru saja pindah ke Garut. Setelah dibujuk, didesak, diancam juga disuap, Arga akhirnya mau nyoblangin aku ama Rizki. Hatiku berbunga-bunga ketika tahu bahwa Rizki jomblo. Dan satu lagi, dia itu vokalis band !
Dua minggu setelah itu, Rizki sudah jadi milikku. Setiap hari Rizki memang sering menjemputku sekolah dengan motor kerennya, kita nonton dan dinner bareng. Tapi dia itu orangnya dingin banget. Dia kayaknya nggak nganggep aku sebagai ceweknya. Aku ngerasa cuma sebagai temen deketnya. Bahkan nonton dan dinner pun harus aku yang pinta. Nyebelin banget deh pokoknya !
Tapi entah kenapa aku nggak bisa ngelepasin Rizki. Mungkin aku udah nemuin soulmate-ku. Aku bener-bener cinta ama dia. Aku nggak mau kehilangan dia walaupun dia nyebelin. Bahkan sampai sekarang hubungan kami genap dua bulan, aku sempet-sempetnya beliin dia hadiah. Gak pernah aku ngasih hadiah ke cowok sebelumnya.
Kalung berbandul kunci untuk Rizki sudah terbungkus rapi di kotak kecil, aku berangkat penuh semangat ke tempat latihan bandnya Rizki.
“Ice man…! Pergi jalan-jalan yuk !” Aku langsung menarik lengan Rizki sang lelaki es itu ketika sudah sampai di studio.
Dengan wajah ogah-ogahan, ia berkata. “Aku lagi latihan. Nanti aja !”
Aku tak peduli. Sebelumnya memang aku suka memaksa Rizki untuk pergi denganku, dan Ia selalu memenuhi permintaanku, walaupun Ia sedang latihan band. “Ayo pergi…!” paksaku sambil terus menarik lengannya.
“Tiga hari lagi kita manggung, kamu lupa ya?!”
“Aku ga’ peduli. Ayo kita pergi !”
“Nggak ! Kamu pergi aja sendiri !”
“Tapi ini perayaan hubungan kita !”
Rizki menghela nafas keras, lalu ia melepaskan peganganku dan balik menarik lenganku untuk menyeretku pergi. Ia melukai lenganku, pegangannya sangat kuat. Setelah sampai diluar aku melepaskan pegangannya lalu mendorong pipi kirinya. “Apa-apaan sih ?! Sakit tau!” protesku.
“Kalau kamu gitu terus aku bisa cape !” bentaknya.
“Kamu ngertiin aku dong, aku ini cewek kamu !”
“Udah ya. Kita putus aja ! Aku udah muak sama sikap kamu!”
Deg, hatiku langsung merasa tak enak. Baru kali ini aku diputusin sama cowok. Ya Tuhan, aku nggak mau dia putusin aku. Akupun mengelak, “Emang kenapa sama sikap aku? Harusnya aku yang bilang gitu! Kamu selalu nggak ada waktu buat aku.”
“Udalah Ri! Udah cukup sampe sini. Aku ga’ mau denger kamu protes-protes lagi. Ini hidupku, kamu ga’
punya hak buat ngerubah gaya hidupku!”
“Aku cuma pingin kamu jadi cowok yang aku pingin! Aku cuma pingin kita jadi cocok.”
“Kalo gitu kamu pacaran aja sama cermin! Ri, kamu itu bukan orangtua aku! aku bukan anak kecil lagi yang
masih harus dibentuk sifat dan kepribadiannya ! Aku bukan orang yang suka film! Tapi kamu paksa aku buat suka film, sama kayak apa yang kamu suka! Aku bukan orang yang suka makan malem di luar! Tapi kamu paksa aku buat suka itu, biar sama kayak kamu! Aku itu bukan cermin yang bisa turutin semua sifat kamu, Ri! Kalau kamu pingin banget ngerubah aku jadi apa yang kamu pinginin, berarti kamu itu cuma cinta ama pantulan diri sendiri yang kamu temuin di diri aku!”
Hatiku merasa hancur ketika mendengarnya, kalimatnya yang dalam sungguh membuat hatiku tertusuk. Yang
bisa kulakukan hanya mamandang punggung Rizki yang sedang berjalan cepat untuk masuk ke studio lagi. Mataku berbinar-binar. Padahal hanya dengannya aku ingin mempunyai hubungan serius. Kenapa ketika aku menemukan orang yang pas, dia malah meninggalkanku gitu aja. Apakah aku salah? Apa aku salah kalau ingin bahagia di sampingnya? Apa aku salah kalau aku ingin bersamanya? Apa aku salah mengajaknya pergi pada hari ke 60 kita bersama? Apa itu salah??
Dengan jalan gontai aku berjalan pulang, air mata tak berhenti mengalir di pipiku. Aku sudah terlanjur mengizinkan Pak Kadir pulang kampung karena kukira aku nanti akan pulang bersama Rizki. Disini tak ada yang mau menemaniku. Idot saat ini menghadiri acara keluarga jadi tak bisa menemaniku. Sekarang aku tidak punya siapa-siapa yang bisa menemaniku.
Ditengah perjalanan kulihat seorang nenek tua sedang menasehati cucunya. Nenek itu sepertinya sedang melarang cucu laki-lakinya untuk tidak mencuri buah mangga tetangganya. Rasanya aku pernah melihat nenek itu, nenek itu nenek yang aku lihat dulu. Nenek yang membawa bakul dan berjalan jauh ketika cuaca panas. Kulihat mereka sungguh menyedihkan. Pakaian sang cucu dan nenek tua itu lusuh, rumahnya pun tak layak huni. Tapi sempat-sempatnya nenek itu menasehati cucunya.
Aku tertegun dan teringat dengan perkataan Rizki.
"Ri, kamu itu bukan orangtua aku ! aku bukan anak kecil lagi yang masih harus dibentuk sifat dan kepribadiannya !”Saat itu juga aku sadar. Aku memang nggak berhak buat ngerubah sikap seseorang sesuai ama yang aku inginkan. Aku bukan orangtua yang harus mendidik anaknya untuk menjadi pribadi yang baik. Nenek tua itu berhak untuk mendidik anaknya, sedangkan aku? Aku seharusnya nggak boleh maksain Rizki buat suka apa yang dia benci. Benar kata Rizki. Aku hanya ingin melihat pantulan diri aku di orang lain. Idot, dia juga sering kusuruh untuk menjadi sepertiku. Ternyata aku salah selama ini. Betapa egoisnya diriku.
Sambil menyeka air mata aku berjalan mencari mini market yang ada di sekitar sana. Kubeli sekilo mangga dan kuberikan kepada anak kecil itu. Aku tersenyum melihat anak itu kegirangan.
“Katakan pada nenekmu kamu tidak akan mencuri lagi. Berterimakasihlah kepada nenekmu, kalau beliau sudah mendidikmu dengan baik.” Kataku sebelum pergi.
Hujan turun rintik-rintik ketika aku kembali ke studio, namun aku nggak berani masuk. Kutunggu Rizki sampai Ia selesai didepan studio disamping pintu. Aku tak peduli kalau harus kehujanan. Seharusnya tadi aku nggak egois maksa dia buat pergi selagi dia latihan buat manggung tiga hari lagi.
“Bodoh !” bentakku pada diri sendiri.
“Siapa yang bodoh?” tanya seseorang yang tiba-tiba duduk disampingku.
Aku langsung menoleh kearahnya, ternyata Rizki. Aku menunduk lagi dan berkata, “Aku..”
Sebuah jaket hangat mendarat di kepalaku. Dan aku mendengar Rizki berkata, “Harusnya kamu nggak kehujanan gini.”
Aku terisak. Dengan terbata-bata aku berkata, “Maafin aku, ki. Aku udah egois. Aku sadar aku salah. Maafin aku.”
“Aku yakin kamu bisa sadar ama kesalahan kamu, Ri. Aku tadi marahin kamu biar kamu nyadar aja.”
“Maafin aku. Kamu nggak bakal putusin aku kan..”
“Nggak lah, Ri. Cuma kamu yang bisa mikat hatiku. Aku udah dapetin kamu, nggak mungkin aku sia-siain.”
“Makasih baget, ki.”
“Yap. Oh iya Ri, kalau kamu nggak nyadar-nyadar tadinya aku mau nyuruh si Arga buat nyomblangin kamu ama cermin. Tapi kalau dipikir-pikir, nanti aku cemburu nggak yaa…”
“Emmh… Dasar !”
“Ri, kucinta kau hari ini.”
“Kalau besok?”
“Hehe. Kucinta kau hari ini…. Dan nanti.”
“Nanti kapan?”
“Besok, lusa, minggu depan, bulan depan, taun depan….”
“Selamanya !”
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
0 komentar:
Posting Komentar