“Ritha?”
Itulah kata-kata yang terlontar di dinding halaman facebookku. Aku hanya tertegun menatap wallpost yang dikirimkan dari seseorang yang sangat kurindukan. Walaupun hanya singkat, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga.
Aku hanyalah seorang siswi SMA biasa, seorang siswi normal yang mempunyai cinta pertama seperti siswi lainnya. Cinta pertama yang indah, singkat, namun tak pernah terlupakan. Cinta pertamaku yang hanya terpendam dalam hati. Dan pengirim wall post itulah cinta pertamaku. Ia adalah teman sepermainan yang selama 6 tahun tak pernah kutemui lagi.
“Hore!!” aku berteriak dalam hati, sedetik kemudian aku langsung membalas wall post itu. Di hari itulah, aku berbicara lagi dengan cinta pertamaku. Dengan senyum yang mengembang akhirnya aku mendapatkan nomer handphonenya, kusimpan nomer itu dengan nama “Alan” di phonebook ponselku.
Rasa rindu sangat terasa ketika kami bernostalgia bersama lewat sms. Dan aku mendapatkan secercah harapan setelah mengetahui kalau dia tidak mempunyai pacar, sama sepertiku. Ia sangat ramah dan jahil, persis seperti dulu. Setiap hari Ia mengirimiku pesan singkat meski hanya sekedar menyapa di pagi hari.
“Cie.. Kerjaannya sms-an mulu, senyum-senyum sendiri lagi..” goda Lilian, temanku pada suatu hari di sekolah. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum. Temanku memang tahu tentang aku dan Alan, dan dia sangat mendukungku.
“Tapi hati-hati lho, tha,” ucapnya lagi, “Hari ini dia bisa aja manis di depan kamu, besok belum tentu. Setiap orang bisa aja berubang drastis, tha.”
“Masa sih? Gak mungkin. Dia nggak bakal berubah,” jawabku.
Alan memang tidak mungkin berubah. Dia akan tetap seperti Alan yang ramah dan jahil. Ia akan tetap mengirim pesan singkat di pagi hari. Dan dalam hari ke hari kami semakin dekat. Mungkinkah aku bisa menjadi pacarnya? Selama ini aku selalu menyimpan perasaan ini. Posisiku saat ini bagaikan rakyat jelata, dan Alanlah pangerannya. Alan adalah sosok ideal yang banyak perempuan inginkan. Dan aku tetaplah siswi biasa. Dengan perhatian yang selama ini Alan berikan kepadaku, mungkinkah Ia merasakan hal yang sama sepertiku?
Sampai akhirnya pada bulan ke-10, perkataan Lilian terjadi. Alan berubah drastis. Ia tak pernah lagi mengirim pesan singkat seperti dulu. Kalaupun aku kirim pesan duluan, Ia akan menjawabnya dengan singkat dan hanya seperlunya saja. Hingga suatu hari, karena pesan singkat yang kukirimkan tak terkirim juga, aku memutuskan untuk me-misscallnya.
Jantung ini berdetak tak menentu, tiba-tiba terdengar suara di seberang sana, ternyata pada nada tunggu pertama Alan mengangkat teleponnya.
“Halo? Ya bentar saying.. Ini lagi dijalan.. Sayang lagi dimana?”
Deg, dengan bingung aku menjawab, “Lagi dirumah.”
Lalu setelah itu tidak ada lagi yang bicara. Yang terdengar hanya suara bising dari suara motor dan mobil di seberang sana. Aku langsung menutup teleponnya. Tanganku membeku. Aku hanya menatap kosong. Tak terasa air mata mengalir di wajahku. Aku langsung berpikir, Alan pasti tadi tidak melihat dulu siapa yang menelepon, Alan pasti menyangka kalau yang menelepon adalah PACARNYA ! Alan punya pacar!! Terjawab sudah pertanyaanku, mengapa Alan berubah seperti itu.
Beberapa hari setelah itu aku bertanya kepada Alan tentang kebenaran statusnya itu. Setelah didesak, akhirnya Ia mengaku. Pada tanggal 11 kemarin, Alan resmi memiliki pacar. Butuh waktu untuk mengobati sakit itu. Akhirnya aku mencoba untuk membuka hatiku pada orang lain dan melupakan Alan. Ada seorang cowok bernama Fanzi yang menyayangiku. Apa salahnya mencoba untuk menyayangi orang lain? Ada yang bilang, lebih baik memilik orang yang mencintai kita daripada orang yang kita cintai.
***
“Ritha.. Lo sekarang punya pacar?” Tanya Fanzi setelah satu bulan berlalu di sebuah café.
Aku yang sedang meminum jus tersedak, “Ah.. Enggak.. Kenapa?”
“Enggak kok nanya aja.”
“Lo sendiri punya pacar?”
“Punya.”
Deg, jawaban Fanzi membuat hatiku mencelos, namun dengan santai aku bertanya, “Oh ya? Siapa?”
“Kamu.”
Haah.. Sekali lagi aku tersedak, “Sejak kapan? Hahaha..”
“Lo mau kan jadi pacar gue?”
Tanpa ragu aku menjawab ya. Sepulang dari café, aku teringat lagi dengan Alan. Seharusnya hari ini adalah hari dimana hubungan Alan genap satu bulan. Akhirnya kuputuskan untuk mengiriminya pesan singkat, sembari memberi tahu kalau aku sudah punya pacar.
“Hey, cie.. Yang udah satu bulan ama ceweknya!” kataku di sms.
Tak lama kemudian Ia membalas, “Oh ya? Udan 1 bulan ya? Hehehe.. Mau tau sesuatu nggak?”
Hm… Apa yang akan Alan kasih tau? Dengan hati yang berdebar aku membalas, “Apa?”
Lama sekali Ia membalas, aku menunggu balasan sambil mengetuk-ngetuk layar handphone dengan jariku. Tiba-tiba layar yang tadinya mati akhirnya menyala, muncullah pesan baru dari alan. Sambil menarik nafas, aku membaca balasannya,
“Aku udah putus lho. Hehehe..”
Terasa bagaikan ratusan batu menimpuk hati ini. Rasa menyesal menjalar dalam tubuhku. Mengapa aku begitu ceroboh? Terlanjur kuterima cinta Fanzi, sementara orang yang aku harapkan sekarang baru saja putus cinta. Terlanjur sudah, aku tak mungkin menghancurkan hati Fanzi hanya untuk kembali mengharap Alan.
Sambil merengek, kuceritakan hal itu pada Lilian. Lilian hanya berkata, “Sudahlah, mungkin bukan jodoh…”
“Tapi kenapa waktunya nggak tepat gini? Aku pingin banget Alan..!” timpalku
“Memangnya lo mau putusin Fanzi? Dia sayang banget sama lo, tha!”
“Mau gimana lagi.. Nasi udah jadi bubur.”
“Memang, nasi udah jadi bubur. Tapi bubur kan masih bisa ditambah macem-macem, masih bisa jadi bubur yang enak, yang gak kalah ama nasi goreng. Lo harus syukurin yang ada tha. Jangan pikir apa yang udah lo dapetin itu nggak lebih baik dari apa yang lo harapkan. Gue yakin ini udah takdir lo, gue yakin ini yang terbaik buat lo.”
Benar juga, perkataan Lilian. Aku harus menghargai apa yang aku punya. Aku harus menghargai perasaan Fanzi. Di tanggal 11, Alan memulai dan mengakhiri hubungannya. Di tanggal 11, aku patah hati. Dan di tanggal 11 ini, aku memulai hubungan dengan Fanzi.
Bahkan sampai saat ini aku menuliskan kisahku ini di atas kertas, bayang-bayang Alan masih menghantui pikiranku. Walaupun Ia jarang mengirimi pesan singkat seperti dulu, tapi perasaanku padanya tak bisa kuhapuskan. Perhatiannya tak berubah dan sama seperti dulu, di tanggal 11 bulan ini, Ia mengirimiku pesan singkat,
“Hey.. Masih sama Fanzi?”
“Ya,” Kujawab singkat.
“Bagus deh, lanjutkan. Kalau dia nyakitin kamu, lapor Alan ya.”
Aku bingung, kenapa harus lapor? Akupun membalas, “Lho kok, lapor Alan. Kenapa?”
Ia membalas, “Alan nggak mau ada yang nyakitin kamu. Kalopun ada, aku akan HAJAR dia. Aku serius.”
Hmmm… kalau Alan tahu Ia pernah menyakitiku, akankah Ia menghajar diri sendiri??
1 komentar:
Kalau jodoh tidak akan kemana, apapun yg terjadi smoga menjadi petunjuk jalan yg lebih baik Amin...
Posting Komentar